Example 728x250.

Apakah Posisi Otoritatif Mempengaruhi Produktivitas?

banner 120x600

Hendrawan ST MM

Alumni Program Studi Magister Manajemen Bidang Manajamen Publik

Universitas Pertiba-Pangkalpinang

Pendahuluan

Didalam organisasi pemerintah, berbagai fenomena sosial dan psikologis dapat memengaruhi cara pengambilan keputusan, efektivitas kerja, serta interaksi antar pegawai. Dua fenomena penting yang sering kali muncul adalah bias otoritas dan cinta popularitas. Bias otoritas adalah kecenderungan individu untuk lebih mempercayai atau tunduk pada orang yang memiliki posisi otoritatif, bahkan ketika otoritas tersebut tidak memiliki kompetensi yang relevan dalam isu tertentu. Sementara itu, cinta popularitas adalah fenomena dimana individu lebih peduli pada penerimaan atau popularitasnya di mata orang lain dibandingkan dengan kinerja atau tugas yang sebenarnya. Disini akan dieksplorasi dampak dari dua fenomena ini dalam konteks organisasi pemerintah dan bagaimana keduanya dapat memengaruhi pengambilan keputusan serta produktivitas.

Landasan Teori

1. Teori Bias Otoritas

Teori bias otoritas, yang pertama kali dipopulerkan oleh Stanley Milgram dalam studinya tentang kepatuhan, menyatakan bahwa individu cenderung mengikuti instruksi atau saran dari otoritas meskipun mereka meragukan kebenaran atau etika dari tindakan tersebut (Milgram, 1963). Dalam konteks organisasi pemerintah, bias ini dapat mengakibatkan pemimpin dengan jabatan tinggi diikuti secara membabi buta oleh pegawai, bahkan ketika keputusan tersebut tidak didasarkan pada informasi yang valid atau terbaik untuk kepentingan publik.

2. Teori Kebutuhan Sosial dan Cinta Popularitas

Menurut teori kebutuhan sosial dari Abraham Maslow, individu memiliki kebutuhan akan penerimaan dan rasa memiliki dalam lingkungan sosial (Maslow, 1943). Pada organisasi pemerintah, fenomena cinta popularitas ini dapat muncul ketika pegawai lebih fokus pada upaya meningkatkan popularitas mereka dibandingkan dengan tugas-tugas pekerjaan yang sebenarnya. Hal ini bisa disebabkan oleh keinginan untuk diakui, mendapatkan simpati dari kolega, atau mempertahankan citra positif di lingkungan kerja. Rini (2019) menunjukkan bahwa cinta popularitas dalam organisasi publik cenderung menghambat kolaborasi dan meningkatkan persaingan yang tidak sehat di antara pegawai.

Bias Otoritas dalam Organisasi Pemerintah

1. Mekanisme Terbentuknya Bias Otoritas

Bias otoritas dalam organisasi pemerintah biasanya terbentuk karena hirarki yang kaku, dimana pegawai bawahan diharapkan untuk mengikuti instruksi atasan tanpa mempertanyakan keputusan tersebut. Sistem ini menciptakan suatu pola pikir di mana keputusan dari atasan dianggap paling benar atau relevan. Menurut Puspita (2020), bias otoritas ini diperparah oleh budaya paternalistik yang masih kuat di banyak organisasi pemerintah Indonesia, dimana pimpinan dianggap sebagai figur yang harus dihormati dan diikuti tanpa banyak bertanya.

2. Dampak Bias Otoritas terhadap Pengambilan Keputusan

Bias otoritas dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan dengan mengurangi objektivitas dan membuat pegawai cenderung mengikuti keputusan pimpinan tanpa mengevaluasi validitas informasi atau data yang digunakan (Prasetyo, 2021). Misalnya, ketika seorang pemimpin memberikan instruksi yang bertentangan dengan kepentingan publik atau tidak sesuai dengan prosedur standar, pegawai yang terpengaruh oleh bias otoritas mungkin enggan untuk mengajukan keberatan. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan kualitas keputusan, merugikan masyarakat, dan menurunkan kredibilitas organisasi.

Cinta Popularitas dalam Organisasi Pemerintah

1. Faktor-faktor Penyebab Cinta Popularitas

Fenomena cinta popularitas sering kali disebabkan oleh adanya sistem penilaian kinerja yang kurang objektif, dimana pegawai dengan popularitas tinggi cenderung mendapat perhatian dan pengakuan lebih dibandingkan pegawai yang bekerja keras tetapi kurang populer (Saputra, 2018). Selain itu, media sosial juga turut berkontribusi dalam meningkatkan fokus pada popularitas, terutama bagi pegawai pemerintah yang ingin menjaga citra positif di ruang publik. Menurut Dewi (2020), pegawai yang sangat peduli dengan popularitasnya sering kali mengabaikan tugas pokoknya demi menciptakan citra yang baik didepan kolega atau atasan.

2. Dampak Cinta Popularitas terhadap Produktivitas

Ketika cinta popularitas mendominasi perilaku pegawai, produktivitas dapat terpengaruh. Hal ini terjadi karena pegawai lebih fokus pada cara membuat diri mereka terlihat baik daripada menyelesaikan pekerjaan dengan benar. Dalam organisasi pemerintah, fenomena ini dapat memicu konflik antar pegawai, yang berusaha bersaing dalam hal popularitas daripada berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh, dalam sebuah studi oleh Hardianto (2021), ditemukan bahwa pegawai yang terobsesi dengan citra sering kali enggan untuk bekerjasama dalam proyek bersama karena takut peran mereka akan tersamarkan oleh kontribusi orang lain.

Implikasi bagi Pengelolaan SDM dalam Organisasi Pemerintah

1. Menciptakan Budaya Kerja yang Berbasis Kinerja

Untuk mengurangi dampak negatif dari bias otoritas dan cinta popularitas, organisasi pemerintah perlu menciptakan budaya kerja yang berfokus pada kinerja dan kolaborasi. Sebagai contoh, pimpinan bisa mendorong lingkungan kerja dimana keputusan diambil secara kolektif dan berdasarkan data objektif. Selain itu, dengan menerapkan sistem penilaian kinerja yang lebih transparan dan adil, pegawai didorong untuk bekerja berdasarkan kompetensi dan hasil, bukan berdasarkan popularitas.

2. Pelatihan Kepemimpinan dan Pengembangan Keterampilan Sosial

Pelatihan kepemimpinan juga penting untuk mengatasi masalah bias otoritas. Dengan mengembangkan pemimpin yang mampu mendengarkan masukan dari pegawai lain dan menciptakan suasana kerja yang inklusif, organisasi dapat menekan dampak bias otoritas. Di sisi lain, pengembangan keterampilan sosial dapat membantu pegawai memahami pentingnya kolaborasi dan kejujuran di atas popularitas pribadi.

Penutup

Bias otoritas dan cinta popularitas adalah dua fenomena yang dapat memengaruhi efektivitas organisasi pemerintah. Keduanya bisa mengarah pada pengambilan keputusan yang kurang objektif dan menurunkan produktivitas jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya manusia yang tepat, sistem penilaian kinerja yang transparan, serta pelatihan kepemimpinan yang inklusif sangat diperlukan untuk mengurangi dampak negatif dari kedua fenomena ini. Dengan demikian, organisasi pemerintah dapat beroperasi dengan lebih efektif dan dapat memenuhi tanggungjawabnya kepada masyarakat dengan lebih baik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!