Oleh : Dt. P. H. Marwan Al-Ja’fari, DPMP
Ketua MABMI KBB
Cakrawalanational.news-Pangkalpinang, Di tengah peringatan Tahun Baru Hijriah, umat Islam kembali diajak untuk merenungi makna hijrah — bukan semata perpindahan geografis dari Mekkah ke Madinah, tapi transformasi total dari kegelapan menuju cahaya, dari ketakutan menuju keteguhan iman, dari kejumudan menuju jalan peradaban.
Dalam refleksi hijrah, nama Umar bin Khattab RA senantiasa mencuat. Sosok fenomenal ini adalah potret hijrah yang utuh baik secara spiritual, sosial, maupun politis. Ia berhijrah dari kekufuran menuju iman; ia juga berhijrah dari Mekkah ke Madinah, yang ia lakukan bukan dengan sembunyi, tapi dengan keberanian yang melegenda.
Dikisahkan, saat sahabat lain hijrah dengan sembunyi-sembunyi karena takut terhadap aniaya Quraisy, Umar justru tampil di hadapan Kaum Quraisy dan berkata:
“Siapa yang ingin ibunya kehilangan anak, atau istrinya menjadi janda, silakan hadang aku di balik bukit ini!”
Itulah Umar RA: berani, tegas, dan meyakinkan.
Tak heran bila kemudian, di masa kepemimpinannya, Umar RA pula yang menetapkan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW sebagai awal penanggalan Islam. Ia paham, hijrah bukan hanya momentum sejarah, tapi tonggak peradaban. Di sanalah Islam mulai tumbuh sebagai masyarakat yang berdaulat, bukan hanya sekumpulan pemeluk keyakinan.
Bayang-Bayang Umar RA di Zaman Kita
Karakter keras dan berani Umar RA itulah yang terus memesona umat Islam hingga kini. Apalagi ketika umat merasa hidup dalam sistem yang timpang — hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas; kebenaran dibungkam, kemungkaran disanjung. Di tengah kondisi seperti itu, umat pun memimpikan hadirnya sosok seperti Umar bin Khattab RA: pemimpin yang menegakkan keadilan tanpa takut, berkata benar walau pahit, dan tidak takut menghadapi tirani.
Maka tak heran, bila hari ini muncul seorang tokoh politisi atau aktivis yang tampak garang, vokal terhadap ketidakadilan, dan berani menantang kekuasaan yang zalim, umat pun spontan menyebutnya “laksana Umar”. Bahkan, jika tokoh itu kebetulan baru saja memeluk Islam, maka euforia publik semakin menjadi-jadi. Seolah kisah Umar bin Khattab RA terulang kembali di depan mata.
Tapi benarkah semudah itu?
Benarkah cukup dengan keberanian dan label muallaf, seseorang bisa disetarakan dengan Umar bin Khattab RA?
Umar RA Dibina Nabi–Siapa Membina Kita?
Umat perlu diingatkan: Umar RA yang garang dan keras itu bisa lurus, karena ia dibina langsung oleh Rasulullah SAW, murabbi agung, pendidik jiwa yang diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Beliau adalah makhluk termulia sepanjang zaman. “Lisensi kepembinaannya” langsung didapat dari “langit”.
Umar RA yang adil dan bijaksana, tidak muncul begitu saja. Ia bukan produk panggung politik atau sorakan publik. Ia adalah hasil didikan langsung dari manusia paling mulia, yang membimbingnya keluar dari amarah menuju hikmah, dari kekerasan menuju keadilan, dari fanatisme menuju kebijaksanaan.
Maka jika hari ini ada yang dianggap sebagai “Umar baru”, pertanyaannya: siapa yang ada di sisinya? Siapa yang membimbingnya? Apakah ia telah diuji oleh waktu, ditempa oleh ilmu, dan dikenali oleh mereka yang ahli?
Menjadi Umar Bukan Soal Gaya dan Sorakan
Banyak orang mungkin lupa, bahwa Umar RA bukanlah penggila jabatan. Ia tidak mengejar kekuasaan, tidak menganggap bahwa menjadi penguasa adalah satu-satunya jalan mewujudkan perubahan.
Ia bahkan menangis ketika diangkat menjadi khalifah, karena sadar betapa beratnya tanggung jawab itu di hadapan Allah. Dalam banyak riwayat, ia menolak orang-orang yang terlalu ingin jabatan, karena tahu: kerinduan terhadap kekuasaan adalah pintu masuk nafsu dan kehancuran.
Umar RA juga memahami bahwa Islam adalah agama keadilan. Maka amanah harus sesuai kadar kemampuan. Tidak semua orang layak memimpin hanya karena suaranya lantang atau keberaniannya memukau. Kepemimpinan bukan soal sorotan kamera, tapi soal pertanggungjawaban di hari kiamat.
Maka, apa yang akan dikatakan Umar RA jika hari ini ia menyaksikan seseorang yang baru memeluk Islam, langsung dimandatkan sebagai pemimpin umat, hanya karena karismanya di layar dan keberaniannya di mimbar? Wallahu a’lam.
Mungkin ia tidak akan berpanjang kata dalam memberi nasihat. Tapi pasti, bobot pengaruhnya luar biasa.
Yang terang, kita rasanya tak susah untuk bersetuju, jika seorang kiai kampung memberikan dawuh:
“Jangan biarkan euforia menenggelamkan akal. Kepemimpinan bukan hadiah untuk yang baru datang, tetapi amanah yang diberikan kepada yang telah teruji.”
“Ini bukan tentang berani bersuara, tapi tentang berani bertanggung jawab di hadapan Allah SWT.”
Hijrah adalah Jalan Panjang
Hijrah bukan akhir, tapi awal dari perjalanan panjang menuju Allah SWT.
Umar bin Khattab RA tdak berubah dalam semalam. Ia berjalan, dibimbing, diuji, dan didewasakan oleh zaman serta bimbingan Rasulullah SAW. Maka umat pun mesti bijak: menghargai niat baik tokoh-tokoh yang muncul, tanpa membebani mereka dengan simbol dan harapan berlebihan.
Karena yang lahir hari ini adalah manusia biasa, bukan sahabat Nabi. Dan yang paling kita perlukan bukan sekadar “sosok seperti Umar”, tapi semangat Umar dalam membela kebenaran, dalam kesadaran penuh akan siapa yang layak memimpin, dan untuk siapa kepemimpinan itu dijalankan.
Wallahu a’lam.
“Aku bukan penipu, tapi penipu sekalipun tidak akan bisa menipuku”
(Umar bin Khaththab RA)