Oleh: Dato’ Panghulu Marwan Al-Ja’fary, DPMP, Ketua PW MABMI KBB
Cakrawalanational.news-Pangkalpinang, Kerusuhan di Kantor PT Timah Tbk beberapa hari lalu bukan sekadar ledakan amarah spontan. Ia bagaikan retakan di dinding lama, tanda bahwa sesuatu telah lama mengendur kepercayaan.
Dalam masyarakat Melayu, kepercayaan lahir dari sapaan, tatap muka, dan mufakat. Terhadap pemerintah, maupun perusahaan penambangan, kepercayaan rakyat dibangun dari dialog yang dijaga.
Ketika dialog itu hilang, suara rakyat akan mencari jalannya sendiri. Kadang, melalui jalan yang keras.
Mengingat Pendahulu
Pada masa Achmad Ardianto atau Didi sebagai direktur utama, PT Timah masih mengenal irama dialog. Ia hadir bukan hanya sebagai dirut, tetapi sebagai tamu yang memahami adat. Pertemuan dengan tokoh kampung, organisasi adat, dan penambang rakyat membuat jarak antara korporasi dan komunitas lebih pendek.
Pendekatan itu mungkin tidak spektakuler, tetapi memberi napas. Ketika masyarakat didengar, kemarahan kehilangan panggungnya. Maklum, konflik di dunia tambang sering kali bukan soal bijih, tetapi soal perasaan diabaikan.
Dialog yang Hilang
Kontras terasa di masa Restu Widiyantoro. MABMI KBB pernah mengajukan permohonan audiensi ke PT Timah, namun tidak mendapat tanggapan. Keengganan ini sebetulnya telah dirasakan sebagai sinyal keengganan PT Timah berdialog dengan masyarakat. Artinya, ditengah-tengah riuh timah ada dialog yang hilang di tanah Melayu.
Menolak kemauan bertemu berarti menutup pintu komunikasi. Dari pintu tertutup itu, prasangka kemudian tumbuh.
Ketika massa marah, terbukti sudah bahwa keengganan berkomunikasi memang melekat dalam karakter PT Timah sekarang. Berbagai pihak, termasuk PT Timah sendiri, ada baiknya untuk tidak buru-buru menyalahkan rakyat atas kemarahan itu. Massa sebetulnya hanya mengingatkan bahwa Timah tidak boleh tuli terhadap suara masyarakat yang hidup di bumi yang mereka eksploitasi.
Refleksi Sejarah
Timah di Bangka memang panas. Sejarah telah membuktikannya sejak dulu.
Di masa Depati Amir, konflik yang menjelma sebagai perang, muncul karena persoalan yang terkait dengan bijih timah juga.
Permasalahan antara mayarakat dan otoritas pertimahan, karena itu tidak bisa dianggap remeh. Sejak dini harus diselesaikan sebelum membara, melalui dialog dan penghargaan terhadap eksistensi, masyarakat dan budaya setempat.
Pendekatan keamanan dengan mengerahkan pasukan tidak akan pernah cukup. Yang lebih penting adalah menjaga hati dan mental masyarakat melalui komunikasi yang tulus dengan tokoh-tokoh masyarakat dan penghormatan terhadap adat. Kericuhan kemarin seharusnya menjadi bahan evaluasi bersama untuk mengingatkan kita bahwa kekuatan dialog dan budaya adalah kunci meredam panasnya timah di tanah Melayu.
(Pr)


.












