Example 728x250.

Ihtirom Adat dan Tepung Tawar

banner 120x600

Oleh: Syafrudin Prawiranegara
Sekretaris MABMI KBB

Cakrawalanational.news-Pangkalpinang, Jum’at sore (4/7), kediaman Panghulu Adat Melayu Negeri Serumpun Sebalai di Bukit Betung kedatangan tamu penting: pasangan calon Bupati/Wakil Bupati Bangka, Aksan Visyawan dan Rustam Jaseli. Keduanya datang bersilaturrahmi dan memohon restu kepada Dato’ Haji Marwan Al-Ja’fari DPMP, yang menyambut dengan gembira.

Pemberitaan tentang kunjungan itu menyebar, dan rupanya juga sampai ke tokoh pendiri Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Dato’ Seri Emron Pangkapi. Ketua DPRD KBB pertama itu memberikan apresiasi atas berlangsungnya pertemuan tersebut, dan menyebutnya sebagai bentuk *ihtirom adat*—penghormatan kepada adat.

Melengkapi apresiasi itu, Dato’ Emron mengusulkan agar prosesi *tepung tawar* diadakan dalam penyambutan kandidat di kediaman Panghulu.

Dato’ Marwan menyambut baik perhatian dan masukan dari sesepuh masyarakat KBB tersebut. Setelah bermusyawarah dengan kerabat kepanghuluan, diputuskan bahwa prosesi tepung tawar akan dilaksanakan bagi kandidat yang datang berikutnya.

Keputusan ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai bentuk diskriminasi terhadap Aksan dan Rustam. Ini murni soal teknis—gagasan itu baru muncul setelah kunjungan mereka. Bila tepung tawar kelak berlangsung, maka Aksan dan Rustam pun turut berandil dalam kebaikannya; ada *jariah*-nya.

Namun, Panghulu juga menegaskan: *calon yang pernah merendahkan marwah kepanghuluan tidak akan ditepung-tawari.*

“Pilah-pilih” seperti itu sah dalam adat. Sebab tepung tawar adalah bentuk penghormatan adat. Maka wajar jika restu tidak akan diberikan kepada yang pernah merendahkan kehormatan adat.

Tepung tawar sendiri memang belum menjadi kebiasaan dalam adat Bangka. Namun sebagai wilayah yang termasuk dalam rumpun besar Melayu, praktik adat seperti ini sah untuk dihidupkan, selama tidak bertentangan dengan syara’ dan membawa maslahat.

Salah satu perspektif dalam adat Melayu membagi adat menjadi tiga: *adat berlembaga*, *adat yang diadatkan*, dan *adat yang terpakai*. Tepung tawar mungkin belum menjadi adat berlembaga di Bangka, tapi melalui musyawarah dan penerimaan masyarakat, ia bisa diadatkan—menjadi bagian dari kehidupan kultural yang hidup, bukan beku.

Tepung tawar bukanlah keyakinan terhadap benda. Ia adalah karya budi manusia yang menjadi simbol dari rasa menerima atau rela secara kolektif. Tak ada syara’ yang dilanggar.

Tepung tawar adalah cara adat menyampaikan pesan dan harapan: bahwa siapa pun yang datang dengan hati tulus, membawa adab dan menghormati negeri, akan disambut dengan tata cara yang menjunjung marwah. Dan siapa pun yang datang dengan niat manipulatif atau jejak mengkhianati adat, akan diingatkan bahwa *restu adat bukan hadiah, melainkan pantulan dari nilai yang dibawa oleh si tamu.*

Dengan demikian, *adat kembali menunjukkan jati dirinya*: tidak menempel pada kekuasaan, tetapi berdiri di atasnya sebagai penimbang marwah dan penegak keseimbangan. (Red/CNN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *