Cakrawalanational.news-Tanjab Barat, Kelompok Anggota Masyarakat Hukum Adat (KAMHA) Imam Hasan dari Desa Badang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, resmi melayangkan surat kepada sejumlah institusi negara. Surat tersebut ditujukan kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Divisi Propam Mabes Polri, Kementerian Hukum dan HAM RI, serta Komnas HAM. Substansi surat tersebut berkaitan dengan tuntutan penerapan asas restorative justice dalam konflik agraria antara KAMHA dan PT Dasa Anugrah Sejati (PT DAS), anak perusahaan dari PT Asian Agri.
Konflik bermula saat KAMHA Imam Hasan menggelar aksi pendudukan lahan pada 24 September 2024 lalu. Aksi tersebut dilakukan di atas lahan seluas 2.975 hektare yang diklaim sebagai tanah ulayat milik masyarakat adat, namun telah lama dikuasai dan dikelola oleh PT DAS berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan sejak era Orde Baru.
Dalam aksi yang digelar dengan peralatan seadanya, perundingan darurat berlangsung di lokasi dan menghasilkan dua poin kesimpulan antara Tim Penanganan Konflik Sosial (TIMDU PKS) Tanjab Barat dan KAMHA. Saat itu, pihak PT DAS tidak hadir.
Isi dua poin kesepakatan tersebut adalah:
1. TIMDU PKS Tanjab Barat akan memfasilitasi mediasi antara KAMHA dan PT DAS.
2. Jika tidak ada respon dari TIMDU PKS, maka KAMHA akan melarang pihak perusahaan memanen dan masyarakat adat akan mengambil alih kegiatan panen sebagai bentuk protes.
Karena hingga keesokan harinya tidak ada tanggapan atau mediasi dari TIMDU PKS, masyarakat adat kemudian melaksanakan poin kedua, yang dianggap sebagai bentuk aspirasi.
KAMHA menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, mengingat TIMDU PKS merupakan representasi negara di tingkat daerah. Oleh karena itu, KAMHA meminta agar seluruh pihak berwenang berhati-hati dalam mengambil kebijakan penanganan konflik agar tidak menimbulkan benturan terbuka yang dapat membahayakan semua pihak.
KAMHA juga menyatakan memiliki bukti otentik berupa dokumen sejarah, silsilah, dan bukti fisik yang menunjukkan bahwa lahan tersebut adalah warisan leluhur masyarakat adat Badang. Persoalan ini kini juga sudah masuk dalam perhatian Kementerian ATR/BPN baik di tingkat kabupaten maupun pusat, mengacu pada Permen ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024 tentang Administrasi Pendaftaran Tanah Ulayat.
Kuasa KAMHA, Dedi, juga menyampaikan keberatan atas isi DIKTUM 4 dalam surat pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan yang dinilai tidak melibatkan masyarakat adat secara layak. Padahal, kawasan tersebut sudah lama dihuni dan dikelola warga, serta mencakup kampung, ladang, sawah, hingga makam leluhur.
Dedi juga mengkritisi DIKTUM 5 dalam dokumen pengelolaan yang berkaitan dengan Daerah Aliran Sungai (DAS), yang banyak berada di dalam area tanah ulayat tersebut.
“Kami paham betul konteks kebijakan masa Orde Baru sangat berbeda dengan era reformasi sekarang. Kami tidak menolak investasi, tapi kebijakan harus adil dan berpihak kepada masyarakat adat,” tegas Dedi menutup pernyataannya.
(Arf)