Example 728x250.

KPK Hentikan Kasus Korupsi Tambang Nikel Rp2,7 T, Publik Pertanyakan Keadilan

banner 120x600

Cakrawalanational.news-Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi izin tambang nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yang melibatkan mantan Bupati Aswad Sulaiman. Keputusan ini memicu kritik dari masyarakat dan aktivis anti-korupsi.

Sebelumnya, Aswad Sulaiman diduga menerima suap Rp13 miliar dari perusahaan-perusahaan yang mengurus izin pertambangan nikel pada 2007-2009.

Selain itu, negara juga diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp2,7 triliun dari penjualan nikel yang diperoleh melalui proses perizinan yang diduga melanggar hukum.

“Kasus ini tidak layak dihentikan karena melibatkan sumber daya alam yang sangat penting dan kerugian negara yang besar,” kata Laode M Syarif, mantan Pimpinan KPK.

Laode mengatakan, KPK pada periode kepemimpinannya sudah menemukan cukup bukti terkait dugaan suap kasus pemberian izin tambang di Konawe Utara.

Saat itu, kata dia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sedang menghitung jumlah kerugian keuangan negaranya.

“Makanya sangat aneh kalau KPK sekarang menghentikan penyidikan kasus ini,” ucap Laode saat dilansir media, Minggu (28/12/2025).

Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, juga menyesalkan keputusan KPK ini.

“Saya menyesalkan penyetopan itu, karena dulu sudah diumumkan tersangkanya itu bahkan diduga menerima suap. Dan ketika tersangkanya mantan bupati, ketika mau ditahan, menyakitkan diri sehingga tidak jadi ditahan”, tandas Boyamin.

Disisi lain, KPK menyatakan bahwa keputusan penghentian penyidikan diambil karena tidak ada kecukupan bukti untuk melanjutkan kasus ini. Alasan lainnya adalah kasus tersebut sudah kedaluwarsa berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama.

“KPK telah menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak terkait,” kata Budi Prasetyo, Juru Bicara KPK, Minggu (28/12/2025) kepada para Jurnalis.

Kendati demikian keputusan ini memicu pertanyaan publik tentang apakah hukum di Indonesia benar-benar menegakkan keadilan bagi rakyat, atau tetap condong melindungi elite politik dan bisnis pertambangan.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *