Cakrawalanational.news-Tanjab Barat, Polres Tanjung Jabung Barat memediasi sengketa lahan seluas ±310 hektare yang berada di Desa Lumahan dan Desa Sungai Rambai, Kecamatan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Konflik agraria ini melibatkan dua pihak: Rogayah Mahmud, yang mengklaim telah mengelola lahan sejak 1977, dan Bapak Deni Acuan Garam, yang menyatakan memiliki lahan tersebut secara sah melalui transaksi dan izin resmi.
Mediasi digelar pada Senin (26/5) di Aula Reconfu Polres Tanjab Barat, dipimpin oleh Wakapolres Kompol Johan Christy Silalahi, S.I.K., M.H. Turut hadir Kepala Kantor ATR/BPN Tanjab Barat Idian Huspida, S.H., M.H., Kabagops Polres AKP Julius Sitopu, serta tokoh masyarakat dan perangkat desa setempat.
Dua Klaim Berbeda
Rogayah Mahmud menyatakan bahwa lahan tersebut dibuka secara mandiri sejak akhir 1970-an dan dikelola bersama keluarganya dengan berbagai tanaman produktif.
Ia menegaskan bahwa bukti pengelolaan dapat dilacak melalui sejarah fisik, serta dokumen musyawarah desa sebelum pemekaran wilayah.
Rogayah juga menyayangkan adanya mediasi tahun 2020 yang disebut berlangsung di Polda Jambi, namun tidak melibatkan pelaporan dari pihaknya. Ia mempertanyakan keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam perkara tersebut.
“Pengakuan Acuan Garam bahwa sudah ada SP3, tapi kapan kami melapor? Ini negara hukum, jangan hukum dipermainkan,” tegasnya.
Sebaliknya, Deni Acuan Garam menyatakan lahan diperoleh secara sah dari masyarakat Desa Sungai Rambai melalui proses jual beli yang didukung bukti pembayaran kepada ahli waris almarhum H. Samad. Lahan tersebut kemudian dikelola oleh PT Arta Mulya Mandiri, yang disebut telah memperoleh izin prinsip dari Bupati Tanjab Barat pada tahun 2006.
“Kami punya dokumen jual beli dan izin prinsip yang sah dari Bupati saat itu, H. Syafrial,” ujarnya.
Kepala Kantor BPN Tanjab Barat, Idian Huspida, menanggapi bahwa pihaknya akan menelusuri proses penerbitan izin prinsip yang melibatkan BPN pada waktu itu.
Polres Minta Bukti Sah Kepemilikan
Wakapolres Kompol Johan Christy Silalahi menyatakan bahwa hingga kini belum ada laporan resmi dari kedua belah pihak terkait dugaan penyerobotan lahan. Meski demikian, kepolisian tetap mendorong penyelesaian secara musyawarah agar sengketa tidak berujung konflik horizontal di masyarakat.
Polres memberikan tenggat waktu hingga 10 Juni 2025 kepada kedua pihak untuk menyerahkan seluruh dokumen terkait, termasuk bukti penguasaan fisik, akta jual beli, hingga surat izin prinsip. Dokumen akan diverifikasi secara bersama oleh Polres, ATR/BPN, dan pemerintah desa dengan pengawasan tokoh masyarakat.
Jalur Hukum Jadi Pilihan Terakhir
Apabila proses mediasi dan verifikasi dokumen tidak menghasilkan kesepakatan, maka jalur hukum menjadi opsi terakhir.
“Kami harap ini selesai secara kekeluargaan. Tapi jika tidak ada titik temu, maka silakan tempuh jalur hukum sesuai ketentuan yang berlaku,” tegas Kompol Johan.
Menjaga Stabilitas Sosial
Kepolisian dan instansi terkait berharap proses mediasi ini mencegah konflik agraria meluas menjadi persoalan sosial yang merugikan banyak pihak. Pemerintah daerah dan tokoh masyarakat diharapkan terus berperan aktif dalam menciptakan iklim damai serta mendukung penyelesaian yang transparan dan adil.
(Arf/Red)