Example 728x250.

Hukum Jangan Tajam Kebawah, Tumpul Keatas

banner 120x600

Penulis : Hairul Anwar Al-Ja’fary
Wartawan Cakrawala Nationalnews

CNNPangkalpinang, Peristiwa perkara hukum tampaknya sulit juga ditebak-tebak, bisa jadi 8 + 8 = 88 bukan hasil sebenarnya 16, mengapa demikian, karena hukum sulit ditebak dan menjadi teka-teki publik. Sehingga, jangan heran kalau ada masyarakat kalangan bawah yang berharap agar “hukum jangan tajam di bawah dan tumpul ke atas”.

Akibatnya, kalau negara hukum dibuatkan seperti itu maka persepsi masyarakat mengatakan, bisa jadi hukum dapat dipengaruhi oleh suatu kekuatan pemegang kekuasaan, jabatan tinggi, kekuatan hukum itu sendiri, kekuatan politik dan keuangan. Oleh sebab itu, hukum dinilai tidak obyektif apabila peristiwa ini terjadi.

Apabila, ketidak-seimbangan hukum tersebut terjadi di kalangan masyarakat sipil baik dari tingkat atas maupun masyarakat yang paling bawah, maka tidak menutup kemungkinan dapat dikatakan “hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah”.

Nah, ini memiliki makna bahwa pada kenyataan yang terjadi di negara ini, keadilan lebih tajam dalam menghukum masyarakat kelas bawah dibandingkan masyarakat kelas atas atau pejabat tinggi. Kenyataan ini juga sering diparodikan menjadi sebuah lagu oleh beberapa musisi di Indonesia.

Di antara bentuk dari sebuah kejadian tersebut bisa terdapat pada kekuatan dalam kekuasaan negara yang disalahgunakan. Semisalnya adalah abuse of power yaitu penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk “penyimpangan dalam jabatan” atau “pelanggaran resmi” merupakan tindakan yang melanggar hukum, yang dilakukan dalam kapasitas resmi, yang memengaruhi kinerja tugas-tugas resmi.

Penyalahgunaan kekuasaan juga bisa berarti seseorang menggunakan kekuatan hukum yang mereka miliki untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Contoh hal yang paling krusial dalam artikel ini adalah melindungi korupsi dalam ‘lingkaran’ itu sendiri. Karena, pelaku kejahatan itu sulit untuk terdeteksi perkaranya apabila dilindungi oleh suatu kekuatan kekuasan hukum pada suatu Negara hukum itu sendiri.

Kendati demikian, hal tersebut sangatlah bertentangan dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud dan at-Tabrani, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menyembunyikan koruptor (pelaku ghulul), maka dia sama dengannya.

Artinya, jika dengan sengaja melindungi koruptor maka Ia termasuk dalam perbuatan korupsi. Cara-cara perlindungan itu bisa dengan memanipulasi hukum, sehingga si pelaku bebas dari hukuman atau dihukum lebih ringan daripada yang semestinya.

Penegakan hukum memang tidak boleh tebang-pilih. Ada suatu kisah yang memuat hikmah tentang hal itu.

Di sebuah Kota Makkah, berhasil dibebaskan dari rezim penyembah berhala, dengan demikian Rasulullah SAW dapat leluasa menegakkan hukum Islam di sana. Suatu ketika, seorang perempuan dari Bani Makzhum tertangkap basah sedang mencuri.

Para tokoh kabilah tersebut kemudian saling bersepakat mendampingi si pencuri itu demi kehormatan suku. Memang, Bani Makzhum termasuk tiga kabilah yang paling kaya dan disegani di Makkah.

Tokoh-tokoh itu lalu mendatangi Usamah bin Zaid. Tujuannya agar sahabat Rasulullah SAW itu memperantarai mereka kepada Nabi SAW. Harapannya, hal itu dapat meringankan hukuman atas perempuan tersebut.

Usamah pun menghadap kepada Nabi SAW. Sesudah mendengarkan penuturan sahabatnya itu, beliau (Nabi Muhammad SAW) pun naik ke atas mimbar untuk berpidato.

Usai mengucapkan hamdalah, Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan kepada khalayak, “Sesungguhnya kebinasaan orang sebelum kalian adalah akibat mereka tidak mau menindak tegas kalangan terhormat di antara mereka yang mencuri, tetapi langsung menghukum orang lemah yang mencuriDemi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman-Nya, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya.

Perempuan pencuri tadi pun dihukum sebagaimana mestinya. Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari tersebut jelas-jelas menekankan aspek keadilan dalam penegakan hukum.

Tidak boleh hukum bagaikan pedang yang tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Bila hal buruk itu terus dipelihara, maka masyarakat yang bersangkutan akan semakin permisif. Para pelaku kejahatan di antara mereka pun akan merasa aman-aman saja selama bisa “bernaung” di bawah nama besar penguasa.

Disebuah Media Nasional, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menegaskan, bahwa Indonesia harus segera melakukan reformasi hukum besar-besaran, dari hulu sampai hilir.

Menurutnya, ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap keadilan dan kepastian hukum.

Pertama, penataan regulasi untuk menghasilkan regulasi hukum yang berkualitas. Indonesia adalah negara hukum bukan negara undang-undang atau peraturan. Karena itu, orientasi setiap kementerian dan lembaga seharusnya bukan lagi memproduksi peraturan yang sebanyak-banyaknya.
Sehingga menghasilkan peraturan yang berkualitas yang melindungi rakyat, tidak mempersulit rakyat, tapi justru mempermudah rakyat, yang memberi keadilan bagi rakyat, serta yang tidak tumpang tindih satu dengan yang lain,” tutur Presiden seperti dikutip dari situs Setkab, Selasa (11/10).

Kedua,  mereformasi hukum mencakup reformasi internal di institusi Kejaksaan, Kepolisian, dan dilingkup Kementerian Hukum dan HAM untuk menghasilkan pelayanan dan penegakan hukum yang profesional.

Karena Ia berharap ada pembenahan besar-besaran pada sentra-sentra pelayanan, seperti imigrasi, lapas, pelayanan SIM/STNK/BPKB, termasuk yang berkaitan dengan perkara tilang, seraya Ia meminta agar aparat terkait memastikan bahwa tidak ada praktik-praktik pungli di situ.

Ketiga, mereformasi hukum dalam pembangunan budaya hukum. Karena penguatan budaya hukum harus jadi prioritas di tengah maraknya sikap-sikap intoleransi, premanisme, tindak kekerasan, serta aksi main hakim sendiri.

Presiden mengakui bahwa cita-cita sebagai negara hukum belum sepenuhnya terwujud dalam praktik penyelenggaraan negara maupun dalam realita kehidupan rakyat sehari-hari. “Hukum masih dirasa cenderung tajam dan runcing ke bawah dan tumpul ke atas,” katanya.

Sembari Presiden mencontohkan, dalam indeks persepsi korupsi dunia 2015 misalnya, Indonesia masih di urutan 88. Begitu pula dalam indeks rule of law 2015, Indonesia di ranking 52. Jika hal ini dibiarkan, menurut Presiden, maka akan memunculkan ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan pada hukum maupun pada institusi-institusi penegak hukum.

Oleh sebab itu, Presiden menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain, Negara harus segera melakukan reformasi hukum besar-besaran, dari hulu sampai hilir.

Dari kesimpulan yang dipaparkan oleh Presiden tersebut, apakah para lembaga penegak hukum di Indonesia sudah dapat berjalan dengan rel-nya,,,? Saya kira jawaban yang pas adalah belum. Karena masih banyak oknum-oknum penegak hukum yang merusak citra lembaganya sendiri, dengan melakukan pelanggaran dan penyimpangan seperti halnya merekayasa kasus, kriminalisasi kasus, serta mengotak-atik aturan hukum yang berkaitan dengan KUHAP, mempermainkan pasal-pasal yang sebenarnya tidak terkait pada perkara tersebut.

Jika terjadi seperti itu, tentu para aparat penegak hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tidak lagi mengacu kepada dasar negaranya sendiri yakni Pancasila, bahwa pada sila kelima sudah jelas menyatakan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa dasar negara kita adalah Pancasila, oleh sebab itu Sumber dari segala sumber hukum di Indonesia adalah Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila punya kedudukan penting dalam tatanan kehidupan bangsa.

Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, sehingga perlu dipahami bahwa konsekuensi UUD 1945 berkedudukan sebagai hukum dasar yang merupakan hukum tertinggi, menyebabkan tidak diperkenankan adanya peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum dasar tersebut, karena sistem konstitusi dalam jati diri Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengandung pengujian konstitusional.

Dengan demikian, kita semua berharap agar para aparatur Negara yang menjalankan tugasnya dibidang hukum sesuai yang diamanahkan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa cita-cita nasional Indonesia adalah membangun negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Mudah-mudahan para penegak hukum kita tidak seperti pepatah “Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”  artinya apabila berbuat sesuatu yang jahat, perkara itu akan terkena kembali kepada kita sendiri, Wallahu A’lam Bishawab (hanya Allah yang mengetahui kebenaran yang sesungguhnya). (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *